Inilah langkah awal pemerintah dan kantor pajak menguak rahasia nasabah bank. Pemerintah akan memasukkan pasal baru dalam revisi undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pasal ini mengatur perlindungan terhadap pihak-pihak yang memberikan akses terhadap data rahasia wajib pajak.
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Irawan mengatakan, satu pasal baru dalam revisi UU KUP mengatur penghapusan sanksi pidana atas pembukaan data rahasia wajib pajak yang diatur dalam UU lain. “Kami tambahkan, bahwa orang itu tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana masuk di dalam UU yang bersangkutan,” katanya, Kamis (25/2).
Dengan pasal ini, Ditjen Pajak bisa mengakses data-data wajib pajak, termasuk data rekening perbankan dan data pribadi lain tanpa batasan. Saat ini, kewajiban memberikan data pajak diatur dalam Pasal 35 UU Nomor 26 Tahun 2009 tentang KUP.
Pasal tersebut menyebutkan apabila Ditjen Pajak membutuhkan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, atau pihak lain dalam rangka pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.
Jika pihak yang dimaksud terkait kewajiban merahasiakan, maka untuk keperluan pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana pajak, kerahasiaan tersebut ditiadakan, kecuali bank. Untuk ketiadaan kewajiban merahasiakan bank, harus ada permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Irawan bilang, dalam aturan baru nantinya tidak hanya berlaku untuk tujuan pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana pajak saja. “Untuk semua tujuan perpajakan bisa diberikan ke Ditjen Pajak,” tambahnya. Petugas pajak yang dapat mengakses data rahasia tersebut adalah pemeriksa dan tim pemeriksa. Jika petugas pajak membocorkan data rahasia itu, akan dikenakan sanksi pidana.
Selain itu permintaan pembukaan data dengan revisi UU KUP bisa langsung dilakukan Dirjen Pajak, bukan lagi melalui Kementerian Keuangan. Ini sejalan dengan akan dipisahkannya Ditjen Pajak dari kendali Kemkeu sehingga menjadi badan semi otonomi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui Menkeu.
Menurut Irawan, saat ini rencana tersebut telah dibahas dengan Bank Indonesia (BI). Revisi UU ini ditargetkan rampung 2017, seiring dengan berlakunya Automatic Exchange of Information (AEoI). Badan otonomi pajak diharapkan beroperasi mulai 1 Januari 2018.
Pengamat Perpajakan Universitas Indonesia Darussalam bilang, hasil riset di 37 negara mengindikasikan pentingnya peran informasi perbankan dalam mendongkrak penerimaan pajak. Dalam penelitian di 37 negara itu, sistem pertukaran informasi 13 negara menganut pertukaran otomatis.
Menurutnya tidak tepat lagi apabila sistem perpajakan suatu negara menganut kesadaran atau self assesment, namun pemerintah tidak diberikan alat menguji pelaksanaan self assesment itu. “Bisa dipastikan penerimaan pajak tidak tumbuh karena masalah informasi perpajakan,” katanya.
Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyarankan, agar data Ditjen Pajak semakin akurat, seharusnya laporan aliran transaksi keuangan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga diserahkan ke otoritas fiskal.
Sumber Artikel: kontan.co.id