Membaca data ekonomi adalah salah satu analisis yang sering dilakukan oleh para trader, namun seringkali trader pemula masih sering salah dalam mengartikan beberapa data ekonomi yang berkaitan dengan inflasi dan deflasi. Pada artikel ini saya ingin menggambarkan perbedaan antara inflasi dan deflasi.
Ketika mendengar nama Inflasi, tentunya kita semua tidak menginginkan hal ini terjadi. Inflasi sepertinya telah menjadi musuh besar yang ingin selalu kita hindari. Kenaikan harga barang dianggap memperburuk kondisi perekonomian. Sebaliknya penurunan harga barang atau deflasi adalah kabar baik. Uniknya kita semua sudah terpola dengan pikiran bahwa inflasi akan berakibat buruk bagi perekonomian.
Mari kita telaah lebih dalam bagaimana mesin ekonomi saat ini bekerja. Sebagai contoh, saat ini anda membeli roti di toko A dengan harga Rp 30.000. Katakanlah sepuluh tahun kedepan anda kembali membeli roti di toko A dan membeli roti yang sama, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli roti yang sama? Apakah masih tetap Rp 30.000? atau anda akan membayar kurang dari Rp 30.000.
Apakah anda menjawab lebih? Mengapa? Karena kita telah dikondisikan untuk berasumsi bahwa harga akan terus meningkat. Namun jika anda melihat kondisi di Jepang, hal yang terjadi justru sebaliknya dimana harga telah jatuh selama bertahun-tahun.
Memang benar inflasi akan mengurangi daya beli, namun selama penghasilan anda naik, kenaikan harga bukanlah musuh yang harus ditakuti. Ada konsekuensi lain yang lebih buruk dari sekedar penurunan daya beli, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya. Inflasi menyebabkan kita lebih mudah terjebak dalam utang.
Misalkan anda memutuskan ingin membeli mobil karena sudah memiliki anak dan membutuhkannya segera. Karena masih banyak kebutuhan mendesak di tahun ini, anda lebih memilih membelinya di tahun depan. Model mobil yang anda inginkan saat ini bernilai Rp 250 jt, namun kemudian anda berasumsi tahun depan mobil yang anda inginkan harganya naik menjadi Rp 300 jt. Apakah anda ingin menunggu satu tahun lagi dengan harga yang lebih tinggi atau membelinya sekarang dengan berutang dan bisa menghemat 50 juta?
Kebanyakan dari kita akan memilih berutang dan membelinya tahun ini. Mengapa demikian? Karena kebanyakan dari kita berasumsi harga akan naik. Anda akan berutang karena inflasi. Jika tidak bijaksana dalam pengambilan keputusan kita akan mudah terjebak di dalam gelembung utang.
Apabila anda meminjam uang dari Bank, uang tersebut akan disuntikkan ke dalam perekonomian, meningkatnya jumlah uang yang beredar akan mendorong pertumbuhan consumer spending (nilai pengeluaran konsumen saat membeli barang dan atau jasa) dengan demikian juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi (dan kemungkinan harga).
Bagaimana jika situasinya kita balik, anda berasumsi harga mobil yang anda inginkan di tahun depan akan turun, katakanlah Rp 200 jt. Apakah anda akan terburu-buru membelinya? Jawabannya pasti tidak, anda akan menunggu membelinya di tahun depan. Dengan pola pikir konsumen ini, para produsen mobil akan gagal untuk meningkatkan penjualan, bahkan akan menurunkan harga, mengurangi produksi mobil dan mungkin akan mengurangi jumlah karyawan yang bekerja di pabrik.
Jika para pekerja pabrik mobil kehilangan pekerjaan, apakah mereka akan berbelanja pakaian, sepatu, gadget? Jawabannya tidak, namun toko-toko membutuhkan cash flow untuk membayar sewa dan gaji karyawan mereka, sehingga akan banyak terjadi pemotongan harga di mana-mana. Semakin harga jatuh, konsumen akan berekspektasi harga akan terus turun, sehingga mereka akan kembali menunda untuk membeli segala sesuatu yang sifatnya tidak mendesak. Ekonomi akan mulai berkontraksi dan implikasinya adalah pengangguran akan meningkat, semua karena mentalitas deflasi.
Nyawa dari mesin ekonomi saat ini adalah borrowing and spending, yang didorong oleh tersedianya uang. Ketika pola pikir konsumen berubah dari inflasi menjadi deflasi, orang tidak hanya berhenti belanja, mereka akan berhenti berutang (collapse in confidence). Hal ini bahkan akan memicu orang untuk mempercepat pelunasan utang yang dimiliki. Dengan demikian akan membuat uang menghilang dari aktivitas perekonomian dan kembali ke Bank dimana uang berasal serta mengurangi jumlah uang yang beredar. Ekonomi akan jatuh menuju deflationary recession bahkan lebih parah lagi.
Peristiwa Great Depression di Amerika di tahun 1930 an adalah sejarah yang tidak bisa dilupakan. Apakah pada tahun tersebut terjadi kelangkaan barang? Sama sekali tidak. Toko-toko penuh dengan persediaan barang. Apakah terjadi kelangkaan tenaga kerja? Sama sekali tidak, tingkat pengangguran mencapai angka 25%.
Jadi sebenarnya apa yang menyebabkan depresi? Hanya satu hal, yaitu “UANG”. Dan satu-satunya cara mendatangkan uang adalah pinjaman dari Bank. Ketika hampir seluruh orang mengurangi utang mereka dari pada menambah, uang yang beredar akan menyusut. Tingkat suku bunga Bank menjadi hampir ke nol. Jika orang tidak melihat peluang orang tidak akan berani meminjam di Bank. Inilah yang disebut ”Pushing money on a string.”
Inflasi yang disebabkan oleh naiknya permintaan barang dan jasa menjadi indikator bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut berada dalam trend yang positif. Sebaliknya negara yang tingkat pertumbuhannya menurun diiringi dengan turunnya permintaan barang dan jasa. Bank sentral di dunia menerapkan kebijakan pelonggaran moneter seperti Bank of Japan, European Central Bank dan Federal Reserve untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya.
Inflasi menjadi salah satu indikator untuk melihat seberapa tinggi pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Namun belakangan ini program pelonggaran moneter negara-negara tersebut justru dipandang tidak memberikan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Justru para ekonom mulai mengkhawatirkan dampak negatif dari kebijakan bank sentral negara tersebut. Untuk kasus inflasi yang berlebihan (hyperinflation) memiliki faktor penyebab dan latar belakang yang berbeda sama sekali pada contoh diatas.